Namaku Penyu. Cerita ini kusampaikan pada dunia, sehingga
dunia memahami bahwa di dunia terkadang beberapa peribahasa berlaku pada
kehidupan sesesorang. Peribahasa gara-gara
setitik nila rusak susu sebelanga ini yang terjadi padaku.
Ini ceritaku..........
Aku Penyu, adalah seseorang yang sangat manja, walau
terlihat kuat, perkasa, di luar. Perjalanan hidupku kuhabiskan untuk mengikuti
semua kehendak orang lain, apakah itu orang tua, teman, ataupun orang-orang di
sekelilingku. Hal itu membuatku menjadi orang yang sangat penakut untuk
menyampaikan sesuatu.
Terlahir dari keluarga yang old fashion aku terbiasa hidup teratur, hidupku kujalani mengikuti
aturan-aturan yang ada.
Pendidikanku kiranya cukup mentereng mulai dari Taman
Kanak Kanak, Sekolah Dasar, SMP, SMA, sampai dengan ikatan dinas, bahkan
menyelesaikan strata 2 aku selalu berprestasi. Tujuanku adalah membagakan
orang-orang disekitarku dengan ambisi tinggi mencapai puncak tertinggi.
Sampai akhirnya aku mengenal seorang wanita yang kini
kujadikan istriku.
Awal masa pacaran aku tidak pernah merasakan yang namanya
pacaran, karena pada saat itu dia ternyata sudah memiliki kekasih. Hanya saja
ketika jarak mereka berjauhan, maka aku seperti dapat memanfaatkan kesempatan
untuk memasuki hatinya.
Ketika hubungan kami berjalan, kemesraan sangat jarang
aku rasakan, walau pada akhirnya kami juga melakukan hubungan jarak jauh,
karena tempat pendidikan kami berjauhan.
Perjalanan panjang kami pacaran kami jalani berdua.
Selama itu pula kami pacaran secara tidak seperti orang pacaran pada umumnya.
Seperti anjing dan kucing. Bahkan selama kami pacaran sepertinya dia pun
menyunyai pria lainnya dan menjalin hubungan dengannya. Tapi hanya kudiamkan
karena tanggung jawab yang membebani hatiku.
Akhirnya pada tahun ketujuh kami pacaran, akhirnya kami
menikah karena “kecelakaan”. Dia hamil, saat itu tidak ada penyesalan dalam
hatiku, karena terus terang saja aku sangat mengharapkannya daripada harus
selalu berhadapan dengan senyum tidak sedap dari orangtuanya setiap aku main ke
rumahnya.
Pada saat menikah pun orangtuanya sangat kesal padaku.
Mereka tidak rela anaknya menikah denganku yang dipandang sebelah mata. Bahkan
istriku pun berharap untuk menggugurkan kandungannya. Usaha keras kulakukan
untuk mencegah perbuatannya.
Dengan syarat membuatkan bangunan di rumahnya akhirnya
aku diijinkan menikahinya dan mengakui kandungannya. Pada saat itu dengan
penghasilan pas-pasan aku pinjam uang dan berhasil membuatkan orang tuanya
bangunan yang dimaksud dan sebagian lagi kugunakan untuk biaya pernikahan.
Malam pertama kami lewati dengan kekesalan tidak ada
kesan kami sebagai pengantin baru, bahkan kami tidur terpisah.
Akhirnya pernikahan kami jalani selama tujuh tahun.
Selama tujuh tahun itu pula, jika difikirkan dalam 1 (satu) minggu hanya 2
(dua) hari kami dapat bermesraan atau hanya sekedar bebicara baik-baik. Selebihnya
selalu ada pertengkaran tidak jelas.
Sampai akhirnya pada suatu hari kira-kira 6 (enam) tahun
sejak saya menulis cerita ini, aku bertemu dengan seseorang yang sungguh
membuat hatiku berdebar sejak pandangan pertama. Hanya saja waktu karena rasa
tidak percaya diriku, malu, dan berbagai pertimbangan lainnya aku tak pernah
berani untuk mendekatinya.
Apalagi awal perjumpaanku dengannya, dia membentakku
karena mungkin dia kesal atau aku yang terlalu cerewet bertanya padanya.
Bertahun-tahun kupendam rasa sayang itu padanya. Setiap kali
berjumpa aku hanya mampu tertunduk malu, cerita tentang aku mencari tau siapa
dirinya, kerja dimana dan yang lainnya aku simpan dengan rapi selama
bertahun-tahun, bahkan sampai aku kerja satu kantor dengannya.
Namun suatu hari, pertengkaran hebat terjadi di rumah
tanggaku, yang membuat aku kebingungan dan kesepian. Akhirnya aku bertemu
dengan wanita lain, yang menjadi kolega ketika aku bekerja melayani pimpinan.
Entah bagaimana permulaannya sehingga hubungan suami
istri pun terjadi pada kami. Malam itu pula aku menyesali perbuatanku,
benar-benar menyesal hingga malam itu pun aku menghubunginya.
Sebenarnya aku menelponnya untuk menyampaikan permintaan
maafku karena aku tak berani ungkapkan rasa ini dan ingin sampaikan padanya
bahwa aku mencintainya serta aku sangat menyesal melakukan hubungan suami istri
dengan wanita kolegaku itu.
Tetapi di telpon entah darimana ketakutan itu muncul
sehingga pembicaraanku malah menceritakan tentang perbuatanku dan menyesali
karena aku sayang istriku. Sungguh aku tak ingin mengatakan hal itu.
Tak kusangka pagi harinya dia datang membawa sarapan. Dia
sangat perhatian sehingga hatiku menjadi sangat tersentuh. Sungguh tersentuh
sehingga tak sadar air mataku mengalir.
Tiba –tiba saja dia memelukku. Sungguh karena aku sangat
bahagia, tanpa sadar aku menciumnya.
Dan sejak itu entah bagaimana hubungan sembunyi-sembunyi
pun kami jalani. Sangat bahagia, benar-benar kebahagiaan yang aku rasakan. Namun
hanya berlangsung 3 (tiga) bulan saja.
Karena teman-teman mulai mencurigai hubungan kami.
Yang aku rasakan sekarang, kesedihan yang sungguh
mendalam. Kesedihan berpisah dengannya masih dapat aku tahan, tetapi kesedihan
harus bermusuhan dengannya itu yang sangat membuat aku terpuruk. Padahal aku
sangat berharap, walaupun aku melepasnya tapi aku sangat ingin tetap menjadi
teman baiknya.
Permusuhan ini benar-benar menyiksa batinku. Entah darimana
permusuhan ini dimulai. Mungkin seingatku begini.....
Sore itu aku berkunjung di rumahnya, karena dia bilang
akan sembahyang ke suatu tempat, sungguh aku sangat menghawatirkannya, hingga
setelah pulang kerja aku memutuskan bertemu di rumahnya. Disana sempat kami
bermesraan, bahkan sempat berhayal jika nanti kami bisa menikah saat aku
berpisah dengan istriku rencananya kami ingin buat foto praweding dimana
anak-anak ku yang menjadi pendampingnya.
Walaupun kami sadar kemungkinan itu sangat kecil, tapi
sungguh aku merasa sangat bahagia. Karena jujur saja selain anak-anakku yang
menahan aku bertahan hidup adalah dia, ya karena dia adalah penyemangat
hidupku. Akhirnya karena aku tidak ingin mengganggu persiapannya aku minta ijin
pulang. Dan sebelum pulang aku sempat menggendongnya sampai di depan pintu
rumah. Sungguh aku sangat bahagia.
Karena khawatir sampai pukul 21.00 dia belum pulang maka
aku putusnya menyusuri jalanan menceri jejaknya dan selama itu pun aku berusaha
menghubunginya tidak berhasil, entah berapa kali aku telpon, entah berapa pesan
yang aku kirimkan.
Sampai akhirnya dia bilang sudah sampai di tempatnya
bekerja.
Padahal aku sudah sangat menunggunya. Hingga kemarahan menyelimuti
diriku. Benar-benar marah bahkan aku sampai teriak-teriak di telpon.
Aku sadar aku salah sehingga kembali aku berusaha meminta
maaf malam itu. Dan menelponya, walau dengan sinyal terbatas dan batere hp ku
yang mulai kehabisan tenaga.
Entah kenapa esoknya dia memutuskan untuk mengehentikan
hubungan kami. Aku bisa terima, namun aku minta pelan-pelan. Malam harinya pun
aku putusnya untuk mencarinya dan berbicara sebentar dengannya.
Kami sama-sama terima namun tetap berhubungan sebagai
teman. Bahkan malam harinya pun aku sempat menelponya untuk menyanyakan kabar,
walaupun pada intinya aku ingin bilang ingin menahannya lebih lama dan tak
bisa.
Esoknya kami sempat chatting di media sosial tentang
pekerjaan, namun entah kenapa siang harinya tiba-tiba saja dia menghapus
pertemanan di media sosial. Yang mebuat aku kalang kabut dan berusaha untuk
menghubunginya.
Dia selalu menjauh tanpa memberikan penjelasan sedikitpun
tentang maksudnya. Dia hanya bilang semua sudah jelas, dan dia sudah sadar. Hal
yang membuatku merasa sangat tidak puas, sehingga pada hari Jumat, dengan emosi
yang membara setelah kakaknya meninggalkan rumah aku melompati pagarnya. Dan ini
mungkin menjadi awal penyebab dia semakin membenciku, bahwa menceritakan pada
orang tuanya.
Entah kenapa di hatiku selalu berdebar-debar, sehingga
esok malamnya aku berusaha membuntutinya, namun dia tidak ada di tempatnya
bekerja atau di tempat bapaknya bekerja.
Karena itu aku putuskan untuk sembahnyang terlebih dahulu di tempat dia selalu
mengingatkanku sembahyang ketika melewati jalan itu.
Aku sembahyang, dan mebulatkan tekadku untuk meminta maaf
padanya. Aku ke rumahnya. Tapi entah kenapa malam itu aku kehilangan keberanian
untuk berbicara, sehingga lama aku berdiri di depan rumahnya.
Tapi ternyata adik laki-lakinya membuka pintu pagar, dan
secara tidak sadar aku berlari menjauhi rumahnya. Rasa bersalah menyelimuti
hatiku hingga tak sedetikpun aku terlelap malam itu.
Pagi harinya aku putusnya untuk kembali kerumahnya. Belum
mandi ataupun sekedar cuci muka, aku datang kerumahnya untuk meminta maaf. Tapi
ternyata hanya ada kakak perempuan dan adik laki-lakinya. Aku jelaskan semua
dan mereka minta saya menemui orang tuanya pada siang harinya.
Aku temui orang tuanya pada siang hari. Aku jelaskan
semua tentang kesalahanku, aku minta maaf, dan berjanji pada mereka.
Pertama, aku tidak akan mengganggu dia lagi.
Kedua, aku merasa berhutang nyawa pada dia, karena dia
yang menyelamatkan hidupku ketika mencoba bunuh diri, dan aku akan selalu siap
membantu sekuat tenaga bila mereka membutuhkan bantuanku.
Sungguh aku merasa sangat bersalah.
Dalam pembicaraan dengan orang tuanya pun aku mendapatkan
informasi bahwa kini dia telah milik orang lain, karena dia telah dijodohkan. Dan
aku terima itu. Sungguh aku terima daripada dia harus bersama orang yang sudah
beristri seperti diriku.
Namun dia tetap saja marah kepadaku. Menyapaku pun dia
tidak mau, sehingga aku terpaksa meninggalkan meja kerjaku demi untuknya. Agar dia
merasa nyaman di tempat kerja.
Biarlah aku yang mengalah, aku hanya ingin dia bahagia. Aku
ingin merasa nyaman. Karena aku menyayanginya dan selalu berada di belakangnya.
Namun dalam hatiku walaupun kami tidak berjodoh aku sama
sekali tidak ingin bermusuhan dengannya, aku sangat berharap kami dapat menjadi
teman baik.
Jika kamu membaca tulisan ini, aku sangat berharap kamu
mengerti dan memaafkan aku. Aku kini hanya ingin berteman denganmu. Tanpa ada
rasa permusuhan.
Seandainya ada hal yang masih dapat kulakukan untuk
menebus kesalahanku, aku akan lalukan semampu dan sebisaku.