Senin, 18 April 2016

Demi Janji dan Harapan

Orang bijak berkata dengan lugas padaku
Berjalanlah pada jalan yang telah ditentukan
Jangan perdulikan lewati terang ataupun gelap
Karena ujung jalan yang ditentukan bukanlah keinginanmu
Maka jalani dengan sebaik-baiknya
Berusahalah dengan sesungguh-sungguhnya

Menatap bintang dalam kuasa dingin
Kini kurasakan hampa dan sepi
Biasanya dingin tak mampu menembus kulitku
Langit gelap tak akan merusak mataku
Tapi kini terasa sangat menyakitkan

Dalam ruang bumi yang sama
Terasa terasing dalam keramaian
Tersembunyi diantara berjuta manusia
Terpekur dalam gelapnya kesunyian
Mencari arti pada rasa yang tak kunjung padam

Kulepas dengan rasa sakit mendalam
Kuiklaskan dengan tersiksa
Bagaimana pun janji tlah kuucap
Kubiarkan alam kan menjawabnya
Bila waktu kan berkenan
Maka akan kuceritakan kekesalan, kekecewaan, kerinduan dan cinta

Mati segan hidup tak mau
Bagai paduan kata yang serangkai nikmat
Malam tlah menjemput
Pagi tlah menunggu
Istirahat harus dilakukan
Akankah akan bangkit kembali
Kurahasiakan semua rasa
Dalam balutan permusuhan sengit
Biarlah seperti ini dalam sepi yang menjemput

Maka aku kan bersungguh-sungguh demi sebuah janji dan harapan


Es Campur

malam ini setelah pulang mengajar
dengan sangat pelan kususuri jalan sendiri
terasa aneh bagiku
sungguh terasa aneh
karena biasanya malam adalah yang kutunggu
untuk sekedar menatap punggungmu

kuputuskan berhenti di dagang es campur
dalam ceritamu sungguh terasa nikmat
kunikmati tiap suapnya
tak terasa air mata ini menetes
karena es campur ini tak sempat kuberikan padamu

kuusap perlahan sehingga tak seorang pun tau
air mata ini mengalir untukmu
sedih memang di tinggal kamu
sedih memang kamu harus bersamanya
tapi sungguh aku berusaha ikhlas
dan tidak akan mengganggu kamu lagi

tapi air mata ini lebih banyak mengalir
karena kita sekarang seperti bermusuhan
seakan ada dendam membara di hati
sehingga bertegur sapa pun menjadi haram
saling menatap pun jadi pantangan

air mata ini mengalir lebih banyak
karena aku tak menyangka
rasa yang kupendam
hingga akhirnya terungkap
tercurah secara gamlang padamu
tetapi akhirnya melahirkan permusuhan

aku sangat merasa bersalah
bahkan karena rasa ini melibatkan orang tuamu
yang harusnya kuhormati
aku yang berhutang nyawa padamu
menjadi tak tau diri
kini seakan menjadi penjahat bagi seluruh keluargamu

aku minta maaf
sungguh minta maaf
aku bersalah sangat bersalah
maafkan aku

Cerita ku pada Dunia

Namaku Penyu. Cerita ini kusampaikan pada dunia, sehingga dunia memahami bahwa di dunia terkadang beberapa peribahasa berlaku pada kehidupan sesesorang. Peribahasa gara-gara setitik nila rusak susu sebelanga ini yang terjadi padaku.

Ini ceritaku..........

Aku Penyu, adalah seseorang yang sangat manja, walau terlihat kuat, perkasa, di luar. Perjalanan hidupku kuhabiskan untuk mengikuti semua kehendak orang lain, apakah itu orang tua, teman, ataupun orang-orang di sekelilingku. Hal itu membuatku menjadi orang yang sangat penakut untuk menyampaikan sesuatu.

Terlahir dari keluarga yang old fashion aku terbiasa hidup teratur, hidupku kujalani mengikuti aturan-aturan yang ada.
Pendidikanku kiranya cukup mentereng mulai dari Taman Kanak Kanak, Sekolah Dasar, SMP, SMA, sampai dengan ikatan dinas, bahkan menyelesaikan strata 2 aku selalu berprestasi. Tujuanku adalah membagakan orang-orang disekitarku dengan ambisi tinggi mencapai puncak tertinggi.

Sampai akhirnya aku mengenal seorang wanita yang kini kujadikan istriku.

Awal masa pacaran aku tidak pernah merasakan yang namanya pacaran, karena pada saat itu dia ternyata sudah memiliki kekasih. Hanya saja ketika jarak mereka berjauhan, maka aku seperti dapat memanfaatkan kesempatan untuk memasuki hatinya.
Ketika hubungan kami berjalan, kemesraan sangat jarang aku rasakan, walau pada akhirnya kami juga melakukan hubungan jarak jauh, karena tempat pendidikan kami berjauhan.
Perjalanan panjang kami pacaran kami jalani berdua. Selama itu pula kami pacaran secara tidak seperti orang pacaran pada umumnya. Seperti anjing dan kucing. Bahkan selama kami pacaran sepertinya dia pun menyunyai pria lainnya dan menjalin hubungan dengannya. Tapi hanya kudiamkan karena tanggung jawab yang membebani hatiku.

Akhirnya pada tahun ketujuh kami pacaran, akhirnya kami menikah karena “kecelakaan”. Dia hamil, saat itu tidak ada penyesalan dalam hatiku, karena terus terang saja aku sangat mengharapkannya daripada harus selalu berhadapan dengan senyum tidak sedap dari orangtuanya setiap aku main ke rumahnya.
Pada saat menikah pun orangtuanya sangat kesal padaku. Mereka tidak rela anaknya menikah denganku yang dipandang sebelah mata. Bahkan istriku pun berharap untuk menggugurkan kandungannya. Usaha keras kulakukan untuk mencegah perbuatannya.

Dengan syarat membuatkan bangunan di rumahnya akhirnya aku diijinkan menikahinya dan mengakui kandungannya. Pada saat itu dengan penghasilan pas-pasan aku pinjam uang dan berhasil membuatkan orang tuanya bangunan yang dimaksud dan sebagian lagi kugunakan untuk biaya pernikahan.

Malam pertama kami lewati dengan kekesalan tidak ada kesan kami sebagai pengantin baru, bahkan kami tidur terpisah.
Akhirnya pernikahan kami jalani selama tujuh tahun. Selama tujuh tahun itu pula, jika difikirkan dalam 1 (satu) minggu hanya 2 (dua) hari kami dapat bermesraan atau hanya sekedar bebicara baik-baik. Selebihnya selalu ada pertengkaran tidak jelas.

Sampai akhirnya pada suatu hari kira-kira 6 (enam) tahun sejak saya menulis cerita ini, aku bertemu dengan seseorang yang sungguh membuat hatiku berdebar sejak pandangan pertama. Hanya saja waktu karena rasa tidak percaya diriku, malu, dan berbagai pertimbangan lainnya aku tak pernah berani untuk mendekatinya.
Apalagi awal perjumpaanku dengannya, dia membentakku karena mungkin dia kesal atau aku yang terlalu cerewet bertanya padanya.

Bertahun-tahun kupendam rasa sayang itu padanya. Setiap kali berjumpa aku hanya mampu tertunduk malu, cerita tentang aku mencari tau siapa dirinya, kerja dimana dan yang lainnya aku simpan dengan rapi selama bertahun-tahun, bahkan sampai aku kerja satu kantor dengannya.

Namun suatu hari, pertengkaran hebat terjadi di rumah tanggaku, yang membuat aku kebingungan dan kesepian. Akhirnya aku bertemu dengan wanita lain, yang menjadi kolega ketika aku bekerja melayani pimpinan.

Entah bagaimana permulaannya sehingga hubungan suami istri pun terjadi pada kami. Malam itu pula aku menyesali perbuatanku, benar-benar menyesal hingga malam itu pun aku menghubunginya.
Sebenarnya aku menelponnya untuk menyampaikan permintaan maafku karena aku tak berani ungkapkan rasa ini dan ingin sampaikan padanya bahwa aku mencintainya serta aku sangat menyesal melakukan hubungan suami istri dengan wanita kolegaku itu.

Tetapi di telpon entah darimana ketakutan itu muncul sehingga pembicaraanku malah menceritakan tentang perbuatanku dan menyesali karena aku sayang istriku. Sungguh aku tak ingin mengatakan hal itu.

Tak kusangka pagi harinya dia datang membawa sarapan. Dia sangat perhatian sehingga hatiku menjadi sangat tersentuh. Sungguh tersentuh sehingga tak sadar air mataku mengalir.
Tiba –tiba saja dia memelukku. Sungguh karena aku sangat bahagia, tanpa sadar aku menciumnya.

Dan sejak itu entah bagaimana hubungan sembunyi-sembunyi pun kami jalani. Sangat bahagia, benar-benar kebahagiaan yang aku rasakan. Namun hanya berlangsung 3 (tiga) bulan saja.
Karena teman-teman mulai mencurigai hubungan kami.

Yang aku rasakan sekarang, kesedihan yang sungguh mendalam. Kesedihan berpisah dengannya masih dapat aku tahan, tetapi kesedihan harus bermusuhan dengannya itu yang sangat membuat aku terpuruk. Padahal aku sangat berharap, walaupun aku melepasnya tapi aku sangat ingin tetap menjadi teman baiknya.

Permusuhan ini benar-benar menyiksa batinku. Entah darimana permusuhan ini dimulai. Mungkin seingatku begini.....

Sore itu aku berkunjung di rumahnya, karena dia bilang akan sembahyang ke suatu tempat, sungguh aku sangat menghawatirkannya, hingga setelah pulang kerja aku memutuskan bertemu di rumahnya. Disana sempat kami bermesraan, bahkan sempat berhayal jika nanti kami bisa menikah saat aku berpisah dengan istriku rencananya kami ingin buat foto praweding dimana anak-anak ku yang menjadi pendampingnya.

Walaupun kami sadar kemungkinan itu sangat kecil, tapi sungguh aku merasa sangat bahagia. Karena jujur saja selain anak-anakku yang menahan aku bertahan hidup adalah dia, ya karena dia adalah penyemangat hidupku. Akhirnya karena aku tidak ingin mengganggu persiapannya aku minta ijin pulang. Dan sebelum pulang aku sempat menggendongnya sampai di depan pintu rumah. Sungguh aku sangat bahagia.

Karena khawatir sampai pukul 21.00 dia belum pulang maka aku putusnya menyusuri jalanan menceri jejaknya dan selama itu pun aku berusaha menghubunginya tidak berhasil, entah berapa kali aku telpon, entah berapa pesan yang aku kirimkan.
Sampai akhirnya dia bilang sudah sampai di tempatnya bekerja. 

Padahal aku sudah sangat menunggunya. Hingga kemarahan menyelimuti diriku. Benar-benar marah bahkan aku sampai teriak-teriak di telpon.

Aku sadar aku salah sehingga kembali aku berusaha meminta maaf malam itu. Dan menelponya, walau dengan sinyal terbatas dan batere hp ku yang mulai kehabisan tenaga.

Entah kenapa esoknya dia memutuskan untuk mengehentikan hubungan kami. Aku bisa terima, namun aku minta pelan-pelan. Malam harinya pun aku putusnya untuk mencarinya dan berbicara sebentar dengannya.

Kami sama-sama terima namun tetap berhubungan sebagai teman. Bahkan malam harinya pun aku sempat menelponya untuk menyanyakan kabar, walaupun pada intinya aku ingin bilang ingin menahannya lebih lama dan tak bisa.

Esoknya kami sempat chatting di media sosial tentang pekerjaan, namun entah kenapa siang harinya tiba-tiba saja dia menghapus pertemanan di media sosial. Yang mebuat aku kalang kabut dan berusaha untuk menghubunginya.

Dia selalu menjauh tanpa memberikan penjelasan sedikitpun tentang maksudnya. Dia hanya bilang semua sudah jelas, dan dia sudah sadar. Hal yang membuatku merasa sangat tidak puas, sehingga pada hari Jumat, dengan emosi yang membara setelah kakaknya meninggalkan rumah aku melompati pagarnya. Dan ini mungkin menjadi awal penyebab dia semakin membenciku, bahwa menceritakan pada orang tuanya.

Entah kenapa di hatiku selalu berdebar-debar, sehingga esok malamnya aku berusaha membuntutinya, namun dia tidak ada di tempatnya bekerja atau di tempat  bapaknya bekerja. Karena itu aku putuskan untuk sembahnyang terlebih dahulu di tempat dia selalu mengingatkanku sembahyang ketika melewati jalan itu.

Aku sembahyang, dan mebulatkan tekadku untuk meminta maaf padanya. Aku ke rumahnya. Tapi entah kenapa malam itu aku kehilangan keberanian untuk berbicara, sehingga lama aku berdiri di depan rumahnya.

Tapi ternyata adik laki-lakinya membuka pintu pagar, dan secara tidak sadar aku berlari menjauhi rumahnya. Rasa bersalah menyelimuti hatiku hingga tak sedetikpun aku terlelap malam itu.

Pagi harinya aku putusnya untuk kembali kerumahnya. Belum mandi ataupun sekedar cuci muka, aku datang kerumahnya untuk meminta maaf. Tapi ternyata hanya ada kakak perempuan dan adik laki-lakinya. Aku jelaskan semua dan mereka minta saya menemui orang tuanya pada siang harinya.

Aku temui orang tuanya pada siang hari. Aku jelaskan semua tentang kesalahanku, aku minta maaf, dan berjanji pada mereka.

Pertama, aku tidak akan mengganggu dia lagi.

Kedua, aku merasa berhutang nyawa pada dia, karena dia yang menyelamatkan hidupku ketika mencoba bunuh diri, dan aku akan selalu siap membantu sekuat tenaga bila mereka membutuhkan bantuanku.

Sungguh aku merasa sangat bersalah.
Dalam pembicaraan dengan orang tuanya pun aku mendapatkan informasi bahwa kini dia telah milik orang lain, karena dia telah dijodohkan. Dan aku terima itu. Sungguh aku terima daripada dia harus bersama orang yang sudah beristri seperti diriku.

Namun dia tetap saja marah kepadaku. Menyapaku pun dia tidak mau, sehingga aku terpaksa meninggalkan meja kerjaku demi untuknya. Agar dia merasa nyaman di tempat kerja.

Biarlah aku yang mengalah, aku hanya ingin dia bahagia. Aku ingin merasa nyaman. Karena aku menyayanginya dan selalu berada di belakangnya.

Namun dalam hatiku walaupun kami tidak berjodoh aku sama sekali tidak ingin bermusuhan dengannya, aku sangat berharap kami dapat menjadi teman baik.

Jika kamu membaca tulisan ini, aku sangat berharap kamu mengerti dan memaafkan aku. Aku kini hanya ingin berteman denganmu. Tanpa ada rasa permusuhan.

Seandainya ada hal yang masih dapat kulakukan untuk menebus kesalahanku, aku akan lalukan semampu dan sebisaku.


Maafkan Aku

Kenapa denganmu?
Ada apa denganmu?
Marah terlihat jelas di wajahmu
Ketika melihatku
Mungkinkah karena aku memanjat tembok rumahmu?

Maafkan aku
Aku bersalah telah melakukan itu
Aku benar-benar minta maaf
Maafkan aku
Aku merasa sangat bersalah

Aku sudah meminta maaf pada orang tuamu
Aku sudah tunjukkan aku merasa berbuat salah
Aku merasa sangat tak berkutik
Katakanlah apa yang harus aku lakukan

Aku akan lakukan apa pun
Untuk minta maaf denganmu
Katakanlah padaku
Sampaikanlah padaku
Maka aku akan melaksanakannya

Maafkan aku
Aku benar-benar kelewatan
Melakukannya hanya untuk mendengar darimu
Telinga ini ingin dapatkan langsung darimu

Maafkan aku
Jangan membenciku
Aku sungguh minta maaf

Katakanlah apa yang harus aku lakukan

Perjodohan


Pagi ini aku terbangun dari tidurku
Ada pertanyaan yang mengganggu tidurku
Setelah mimpi yang terlihat dalam tidurku
Sebuah cincin dalam kotak merah
Yang kau pegang dan lihat dengan seksama

Bolehkah aku tanya padamu?
Mungkinkah kau menghindar karena itu
Benarkah dugaanku?
Kau lari dariku tanpa berikanku harapan
Karena perjodohan yang kau terima

Aku hanya ingin tau
Sebuah kebenaran yang menyiksa dada
Bila itu benar......
Aku hanya ingin ucapkan selamat padamu
Semoga hidup berbahagia

Aku berjanji tak akan ada
Tetes air mata yang membasahi pipi
Jika kebenaran ini terungkap
Hanya lewat ini kuucapkan
Hanya lewat ini kusampaikan

Bila nanti kau baca ini
Maka pikirkan dengan hatimu
Biarkan aku mengetahuinya
Biarkan aku mendengar dari bibirmu
Maka nafasku tak kan lagi tersengal
Aku mohon padamu

Tapi aku tak akan mengganggumu